DESAKRALISASI TARI BARONG DALAM KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BALI
Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
41
DESAKRALISASI TARI BARONG DALAM
KEHIDUPAN SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BALI
I Gusti Ngurah Sudiana
Jurusan Sosiologi UGM
ABTRACT
This research aims to express and analyze the desacredness of Barong Dance in the
social living Balinese People’s culture. Desacredness is a traditional norm movement
into the modern ones in with the growth of historical events anda run in accordance
with the people’s change and take many. Barong dance is sacred one performed only for
the need of Hindu ritual in Bali, however in this opment of dance is also performed for
those of tourists’amusement. Research models are both descriptive and explorative
ones which qualitatively depict about the redness of Barong dance. The data collection
was held by observation, literatures, and document. Observation for seeing the Barong
dance performance and the symbols used. The interview was held artistis, religious
custom and youngsters. The document were bay reading correlated literature with
discussed problems. The research result includes as follows. Appearance of desacradness
of Barong dance of power structure change and the decision for in the Barong dance
performance. When the king held the power in Bali, he was the decision for in the
performance, when the Dutch colony came, the colonial government holding the decision,
when the freedom time came, the people gradually held the decision to this time the
organization, even the stage Barong dance in the form of Barong Profan appeared
because of debate between five is, that is, religious, custum, artist, tourist and government
groups. Thus, it is also the form of these people’s dynamism for doing a renewal,
experimentationd dissolve the religious tradition unity for sacral Barong dance
performance, which during this time dominate. The Barong dance element having
desacradness was the process of making mask, ceremonial; pace anda the level of
ceremonial; place and the level of ceremony, performance ritualism, function, and
performance objektif, rating organization, acor, dancing structure, place of performance,
organization structure, dynasty nation, magical ambience and the audiences and the
audiences of Barong dance performance. The desacredness bias of Barong dance in the
socio-cultural living cause the nowe organization , like sekaa barong dance, barong
dance management individually/personally. The tradition change happiness”, livehood,
pesangkepan tradition, will glue the correction between the village custom. Interacting
in doing things. The weakness of Barong dance sacredness existence give more care the
Barong dance performance. The symbols of Barong having been desacredness is the
beginning for using colour, decoration of performance attribute and the disappear of
“title” to Barong on the performance of Barong profane.
Keywords: desacradness, barong dance, dan socio-cultural
AKADEMIKA, Jurnal Kebudayaan
Vol. 4, No. 1, April 2006 ISSN: 0216-8219
42
Pendahuluan
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan
dan menganalisis desakralisasi
tari barong dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Bali. Desakralisasi
adalah gerakan-gerakan
norma-norma tradisional menuju norma-
norma modern seirama dengan berkembangnya
peristiwa-peristiwa sejarah
dan berjalan sesuai dengan perubahan
masyarakat serta mengambil
berbagai bentuk.
Tari barong semula merupakan tari
sakral yang dipentaskan hanya untuk
upacara agama Hindu di Bali, tetapi
dalam perkembangannya tari ini juga
dipentaskan untuk hiburan wisatawan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengungkapkan tentang munculnya
unsur-unsur, simbol-simbol dan bisa
desakralisasi tari barong dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Bali.
Model penelitian ini adalah deskriptif
eksploratif yang secara kualitatif
menggambarkan tentang desakralisasi
tari barong. Pengumpulan datanya
adalah dengan observasi, pustaka, dan
dokumen. Observasi untuk melihat pementasan
tari barong dan simbolsimbol
yang dipergunakannya. Wawancara
adalah dengan tokoh-tokoh seni
dan dokumen adalah dengan membaca
literature dengan masalah yang dibahas.
Hasil penelitian ini antara lain:
munculnya desakralisasi tari barong
akibat perubahan struktur kekuasaan
dan pemegang keputusan dalam pementasan
tari barong. Ketika raja berkuasa
di Bali, maka rajalah yang memegang
keputusan dalam pementasannya,
ketika jaman kolonial Belanda,
pemerintah koloniallah yang
memegang keputusan, dan ketika jaman
kemerdekaan secara berangsurangsur
masyarakat adat memegang
keputusan, bahkan sekarang pimpinan
organisasi, kemudian pimpinan stage
barong dance yang memegang kekuasaan
dalam pementasan tari barong. Di
samping itu desakralisasi tari barong
dalam wujud barong profan timbul akibat
perdebatan antara lima kelompok
yaitu kelompok agama, seniman, adat,
pelaku pariwisata, dan pemerintah.
Demikian juga merupakan wujud dinamisme
masyarakat Bali untuk melakukan
pembaharuan, eksperimentasi,
dan mencairkan otoritas tradisi religius
dari tari barong yang selama ini mendominasi.
Unsur-unsur tari barong yang mengalami
desakralisasi adalah proses
pembuatan topeng, pemimpin upacara,
tempat, dan tingkatan upacara, ritualisme
pementasan, fungsi dan tujuan
pementasan, organisasi pendukung,
aktor, struktur tari, struktur organisasi,
dominasi wangsa, suasana magis, dan
penonton pementasan tari barong.
Bias desakralisasi tari barong
dalam kehidupan sosial budaya mengakibatkan
tumbuhnya organisasi baru,
seperti sekaa barong dance, pengelolaan
barong dance secara pribadi atau perorangan,
perubahan tradisi suka duka,
perubahan mata pencarian, tradisi
pesangkepan, semakin melekatnya hubungan
antara desa adat dengan sekaa
dalam berinteraksi ketika melaksanakan
kegiatan. Melemahnya eksistensi
kesakralan tari barong dan semakin
terpeliharanya pementasan tari barong.
Simbol-simbol tari barong yang
mengalami desakralisasi adalah dalam
bidang penggunaan warna, pemasangan
Desakralisasi Tari Barong dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
43
hiasan, atribut pementasan dan hilangnya
gelar barong pada pementasan tari
barong profan.
Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif ekploratif yang bertujuan
menemukan dan menggambarkan tentang
terjadinya desakralisasi tari barong
dalam pariwisata di daerah Bali.
Metode yang digunakan adalah metode
kualitatif yaitu suatu cara untuk membangun
grounded theory. Penelitian kualitatif
menghendaki arah bimbingan
penyusunan teori dari data (Maleong,
1991:6).
Teknik pengumpulan data yang
dipergunakan dalam penelitian ini
adalah wawancara, observasi langsung,
dan dokumentasi. Wawancara mendalam
dilakukan terhadap informan yaitu
orang-orang yang dimanfaatkan untuk
memberikan informasi tentang masalah
penelitian. Karena itu informan harus
banyak mempunyai pengetahuan
tentang latar penelitian ini yang menjadi
informan dalam penelitian ini
adalah Kelian Desa Adat Batu Bulan, penyelenggara
pertunjukan barong dance,
tokoh agama dalam hal ini ketua PHDI
Propinsi Bali, tokoh agama di desa Batu
Bulan, generasi muda serta tokoh-tokoh
masyarakat lain yang dianggap memahami
permasalahan ini. Nama-nama
yang diwawancarai antara lain: I Nyoman
Yudha, I Komang Gede, Jero Mangku
Pererepan, I Made Mastika, I Gede
Sura,dan I Ketut Subagiasta.
Untuk mengarahkan kegiatan wawancara
digunakan pedoman wawancara
(interview guide). Selanjutnya
agar data dapat diperoleh dengan baik,
maka digunakan catatan lapangan dan
tape recorder. Studi dokumentasi dilakukan
terhadap Awig-awig Desa Adat
Batu Bulan, sumber-sumber berupa
pustaka lontar, buku, majalah, surat
kabar yang berkaitan dengan objek
penelitian.
Observasi langsung dilakukan
untuk mengamati secara langsung pelaksanaan
pertunjukan barong dance
untuk melihat simbol-simbol yang mengalami
desakralisasi dari tari barong
ini.
Data yang diperlukan dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
a. Perkembangan pertunjukan barong
dance sejak berdirinya sampai dengan
penelitian berlangsung. Data ini
diperlukan untuk mengetahui latar
belakang berdirinya pertunjukan
barong dance di desa Batu Bulan. Data
ini diperoleh dengan studi dokumentasi
pada sekretariat perkumpulan
barong dance dan wawancara
dengan tokoh-tokoh seni, adat, dan
agama setempat untuk mengetahui
pandangan mereka tentang tari
Barong.
b. Program dan kegiatan perkumpulan
barong dance sebelum mulai pertunjukan
sampai akhir pertunjukan dan
kegiatan lain untuk menarik penonton
yang lebih banyak untuk menyaksikannya.
Data ini diperoleh dengan
pengamatan langsung serta
wawancara dengan ketua pelaksana
serta komponen pertunjukan, ditambah
dengan studi publikasi majalah
atau koran-koran dan sebagainya.
c. Bentuk pertunjukan, struktur pementarasan,
elemen-elemen tari,
pihak yang menentukan/berkuasa di
dalam pementasan dan pengelolaan
AKADEMIKA, Jurnal Kebudayaan
Vol. 4, No. 1, April 2006 ISSN: 0216-8219
44
seni pertunjukan barong dance tersebut,
proses upacara, penokohan
dan fungsi tari barong. Data ini
diperoleh melalui observasi langsung
maupun dengan wawancara
dengan tokoh adat, seni, dan agama
yang dianggap tahu tentang masalah
yang dibahas.
Untuk mengkaji kredibilitas data
digunakan teknik triangulasi, yaitu
teknik pemeriksaan keabsahan data
yang memanfaatkan sesuatu yang lain
di luar data itu untuk keperluan pengecekan
atau sebanding dengan data
tersebut. Menurut Potton, triangulasi
dapat dilakukan dengan dua strategi:
(a) pengecekan derajat kepercayaan penemuan
hasil penelitian dengan beberapa
teknik pengumpulan data; (b)
pengecekan derajat kepercayaan beberapa
sumber data dengan metode
yang sama (Oetomo, 1995:178). Pada penelitian
ini, digunakan strategi tringulasi
pertama dan kedua. Pertama, pengecekan
hasil pengamatan langsung
dengan studi dokumentasi. Yang kedua,
dengan pengecekan keabsahan data
hasil wawancara antara satu informan
dengan informan lain.
Analisis data menurut Potton ialah
proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya
ke dalam suatu pola,
kategori, dan satu uraian dasar (Maleong,
1996:103). Pekerjaan analisis data
kualitatif dapat dilakukan dalam proses
pengumpulan data, tetapi analisis data
yang intensif dilakukan setelah pengumpulan
data selesai. Analisis data
ini dilakukan dalam beberapa tahap.
Pertama, tahap pengecekan dan reduksi
data. Pada tahap ini data yang telah
terkumpul diuji keabsahannya dengan
teknik triangulasi yaitu pengecekan
data dari hasil pengamatan langsung
dengan studi dokumentasi. Hasil wawancara
antara informan satu dengan
yang lain, bila ada data yang tidak relevan,
maka dilakukan reduksi data.
Kedua, tahap klasifikasi data. Klasifikasi
data dilakukan atas tiga tema. Tema pertama,
data tentang perkembangan pertunjukan
barong dance dari mulai berdiri
sampai saat sekarang. Data ini
dapat menggambarkan tentang dukungan
masyarakat atau penolakan masyarakat
terhadap penyelenggaraan
pertunjukan Tari barong dance ini di
daerah Batu Bulan. Tema kedua, data
tentang program kegiatan perkumpulan
barong dance mulai dari persiapan
sampai akhir penyelenggaraan pertunjukan.
Data ini menggambarkan tentang
usaha-usaha yang dilakukan oleh
komponen perkumpulan untuk mengemas,
mempromosikan pertunjukan
kepada masyarakat terutama penonton.
Tema ketiga, data tentang bentuk
pertunjukan, struktur pementasan,
elemen-elemen tari, dan pihak yang
berkuasa dalam pertunjukan barong
dance. Data ini akan dapat menggambarkan
tentang pandangan masyarakat
Bali umumnya dan Batu Bulan
khususnya di salah satu sisi.
Mereka sebagai masyarakat dalam
posisi religius dan di sisi lain sebagai
masyarakat sekuler. Ketiga, tahap interpretasi
dan penafsiran data. Pada tahap
ini dilakukan penafsiran atau pemberian
makna yang signifikan terhadap data
yang telah diklasifikasikan dan dicari
hubungan yang satu dengan yang lain
sehingga dapat menjawab pertanyaan
penelitian. Keempat, pada tahap akhir
dilakukan pengambilan kesimpulan.
Desakralisasi Tari Barong dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
45
Hasil dan Pembahasan
Tari barong di dalam masyarakat
Bali tergolong sebagai tari sakral religius
dance, tetapi dalam perjalanan
sejarahnya tari ini mengalami perkembangan
dan sekaligus mengalami
perubahan dalam berbagai unsurnya.
Perkembangan tari ini mulai dari tanpa
lakon, kemudian dipentaskan memakai
lakon. Lakon yang dipergunakan
adalah Calonarang. Sesuai dengan
sifatnya tari barong ini dipentaskan
berkaitan dengan pelaksanaan upacara
keagamaan bagi umat Hindu di Bali,
seperti odalan, Galungan, dan Kuningan,
menyambut Nyepi dan pada sasih kaenem,
yang tujuannya secara mitologis
untuk mengusir penyakit yang mengganggu
umat manusia, yang ditimbulkan
oleh roh jahat leak.
Kesakralan tari barong bukanlah
berdiri sendiri, tetapi didukung oleh
berbagai peristiwa sakralitas yang dilakukan
oleh masyarakat pendukung
tari barong itu sendiri. Karena ritualisme
barong sakral ini demikian rumit
sehingga barong bagi masyarakat Bali
diberikan gelar Ratu Lingsir, Ratu Sakti,
Ratu Gede, dan sebaginya. Gelar ini hampir
setara dengan kekuasaan dewa-dewa
umat Hindu. Sebab barong secara
mitologis dianggap sebagai penjelmaan
dewa Brahma/Simbol dewa Brahma untuk
menghalau Roh Jahat yang ingin
menyebarkan penyakit di dunia.
Perkembangan selanjutnya tari
barong bukan lagi hanya untuk tari pengiring
upacara, tetapi sebagai tari untuk
sajian wisatawan, dengan lakon
yang berbeda yakni ceritra Kunti Sraya.
Pementasan tidak lagi bertempat di
jabaan pura, tetapi dipentaskan di sebuah
stage yang memakai atribut serta
simbol yang sama dengan barong sakral.
Memperhatikan terjadinya perubahan
beberapa unsur serta fungsi pementasan
tari Barong sakral sehingga
tari barong sakral telah mengalami profanisasi/
desakralisasi menjadi tari
barong profan. Unsur-unsur/simbolsimbol
yang mengalami desakralisasi
antara lain: 1) proses pembuatan topeng,
2) pengantar upacara/pemimpin
upacara, 3) proses pasupati, ngatep, dan
ngelukar, 4) ritualisme pementasan, 5)
waktu pementasan, 6) fungsi dan tujuan
pemen-tasan, 7) organisasi pendukung,
8) aktor, 9) struktur tari, 10) tempat pementasan,
11) cerita, 12) penokohan, 13)
musik pengiring, 14) struktur pementasan,
15) pengambilan keputusan, 16)
dominasi wangsa, 17) daya magis, dan
18) penonton.
1. Munculnya desakralisasi tari
barong sebuah realitas dalam
masyarakat Bali
Munculnya desakralisasi tari
barong dipengaruhi oleh struktur sosial
masyarakat Bali. Artinya, di dalam
pementasan tari barong, struktur kekuasaan
yang paling dominan mempengaruhi
terjadinya desakralisasi.
Ketika kekuasaan dipegang oleh raja,
tari barong dimanfaatkan oleh raja
untuk menanamkan ide-ide serta alat
memperkuat kekuasaannya. Pada jaman
kolonial pementasan tari barong
dimanfaatkan oleh penjajah Belanda
untuk menyambut tamu-tamu penting
para penjajah. Demikian pula setelah
era kemerdekaan sejalan dengan memudarnya
kekuasaan raja dan kolonial,
pementasan tari barong dimanfaatkan
pemerintah untuk melakukan propaganda
politik tahun 1965. ditambah lagi
AKADEMIKA, Jurnal Kebudayaan
Vol. 4, No. 1, April 2006 ISSN: 0216-8219
46
semakin pesatnya kehidupan pariwisata
di Bali tari barong dimanfaatkan
oleh kelompok seniman untuk menghibur
wisatawan.
Munculnya desakralisasi tari barong
akibat pertarungan idealisme dan
kepentingan lima kelompok masyarakat
Bali, seperti kelompok seniman,
pelaku pariwisata, adat, agama, dan
pemerintah. Kelima kelompok ini terbagi
menjadi dua kubu, yaitu kubu yang
melarang pementasan barong sakral
untuk wisatawan –yakni kelompok agama,
adat, dan pemerintah. Sedangkan
kelompok seniman dan pelaku pariwisata
menghendaki pementasan barong
sakral untuk wisatawan. Dari perdebatan
yang panjang, maka dibuatlah
pementasan barong profan yang menyerupai
pementasan Barong sakral.
Pementasan tari barong profan
adalah merupakan sebuah bentuk dinamisme
masyarakat Bali yang tergabung
dalam kelompok seniman untuk
melakukan pembaruan, eskperimentasi,
dan mencarikan otoritas tradisi
religius dengan sebuah wujud pementasan
barong profan. Bila diperhatikan,
maka sirkulasi pementasan dan kelompok-
kelompok yang melakukan
hubungan-hubungan pementasan yakni
kelompok seniman sebagai penjual
simbol dan pelaku pariwisata sebagai
konsumen simbol, maka mereka itu
telah menjadi dan disebut sebagai “perantara
budaya baru”, sebagai pemisah
batas-batas kesakralan dan profan tari
barong dalam masyarakat Bali.
2. Unsur-unsur tari barong yang
mengalami desakralisasi
Unsur pembuatan topeng barong
yang mengalami desakralisasi yakni
dilihat dari bagian ritualismenya dan
pelaksanaannya. Jika di dalam barong
sakral upacaranya pada tingkatan utama,
sedangkan pada barong profan
pada tingkatan terkecil (nista). Demikian
juga pelaksaaan upacaranya. Pada
barong sakral dilaksanakan oeh desa
adat yang bertempat di Pura Dalem,
tapi pada barong profan dilaksanakan
oleh sekaa/kelompok bahkan pribadi
dengan bertempat di stage/rumah pemilik
saham barong dance.
Pemimpin upacara pada barong
sakral telah mengalami pergeseran yaitu
semula dipimpin oleh pendeta sedangkan
untuk barong profan dipimpin
oleh pemangku saja. Pendeta/sulinggih
dalam masyarakat Bali mempunyai
wewenang lebih luas dalam bidang
upacara keagamaan sedangkan
pemangku hanya terbatas pada sebuah
pura saja. Dengan demikian telah terjadi
pergeseran kelas dan kewenangan
rohaniawan untuk menyelesaikan upacara
tari barong.
Ritualisme barong sakral dapat dibagi
menjadi tiga bagian yakni Prayascita,
Ngatep, dan Pasupati serta Ngelukar,
semua upacara ini dilaksanakan
di Pura Dalem. Sedangkan pada ritualisme
barong profan hanya pada tingkatan
melaspas saja dan bertempat di
stage/rumah pribadi. Ritualisme barong
profan sangat mengurangi tingkat
kesakralan barong itu sendiri dari kacamata
masyarakat religius.
Unsur ritualisme pementasan tari
barong telah mengalami desakralisasi,
jika tari barong sakral menggunakan
tingkatan utama dengan panyambleh
ayam hitam, tetapi pada barong profan
menggunakan tingkatan nista (paling
sederhana) dengan menggunakan ayam
Desakralisasi Tari Barong dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
47
sebulu-bulu (sembarang warna bulunya).
Bahkan pada stage perorangan
tidak menggunakan ayam penyambleh
(ayam yang dikorbankan dengan memotong
kepalanya).
Waktu pementasan tari barong telah
mengalami pergeseran/perubahan,
jika Barong sakral pementasannya setiap
ada upacara keagamaan setiap setahun
sekali dengan limit waktu, saat
Sedyakala dan tengah malam, tetapi pada
waktu pementasan barong profan
sama sekali tidak memperhitungkan
waktu pementasan secara magis, namun
disesuaikan dengan jadwal datangnya
turis melewati tempat pementasan
sekiar jam 9.30 WITA setiap harinya.
Desakralisasi tari barong menyebabkan
wadah tari tersebut ikut mengalami
pergeseran, tari barong sakral
diwadahi oleh organisasi, banjar, dan
sekaa pemaksan. Sedangkan tari barong
profan diwadahi oleh sekaa pemaksan
barong (sekaa yang masih tradisional)
dan diwadahi oleh stage perorangan
dengan pengelolaan yang hanya
mengutamakan bisnis.
Aktor dalam pementasan tari barong
juga telah mengalami pergeseran/
desakralisasi, sebab di dalam tari barong
sakral aktor sangat dipilih yaitu
mengutamakan kesurupan, tidak cuntaka/
kotor secara spiritual, sedangkan
dalam pementasan Barong profan yang
organisasinya tidak tradisional, tidak
mengutamakan keturunan, cuntaka,
profesional, dan tidak ngayahang/kewajiban.
Sangat berbeda dengan stage
pribadi, dalam stage pribadi yang dituntut
hanyalah profesionalisme, mereka
mengabaikan tentang cuntaka,
ngayah, kahyangan, dan keturunan.
Terpenting di dalam pementasan stage
pribadi adalah keahlian.
Struktur tari juga telah mengalami
desakralisasi pada semua komposisi
tari. Komposisi tari ada tiga yakni
pepeson/pembukaan, pengawak/pertengahan,
pekaad/pengabisan. Gerakan
pada masing-masing komposisi tersebut
telah banyak mengalami perubahan
seperti pada pepeson: gerakan
ngeseh/gerakan dorong ke kiri ke kanan,
pada barong sakral selendet capung/
melihat si patung dilakukan satu kali,
sedangkan pada barong profan dilakukan
dua kali. Gerakan barong sakral
setelah ngandang-ngandang/berjalan ke
depan, dilakukan seledet, tetapi di dalam
barong profan dilakukan seledet
capung dan ngangget kebot/ badan bergoyang
ke kiri.
Desakralisasi gerak bagian pengawak/
pertengahan adalah pada pose menuju
agem kanan; posisi berat badan terletak
di kaki kanan. Sebenarnya pada
tari barong sakral setelah gerakan malpal/
berjalan dengan badan diturunkan
sebatas pinggang dilanjutkan dengan
nyeregseg/bergeser cepat, namun dalam
tari barong profan ditambah dengan
gerakan seledet capung dua kali.
Gerakan pada menuju agem kiri; pada
barong sakral dilanjutkan dengan Nyeregseg,
tetapi di dalam barong profan
gerakan dilanjutkan dengan seledet
capung baru kemudian dilanjutkan
dengan keplakan mulut barong. Gerakan
pada menuju pose agem kanan;
pada gerakan barong sakral setelah gerakan
seledet/menoleh ke kiri ke kanan
satu kali, dilanjutkan dengan gerakan
mekirig/mundur disertai dengan keplakan
mulut barong. Sedangkan pada
gerakan barong profan diawali dengan
AKADEMIKA, Jurnal Kebudayaan
Vol. 4, No. 1, April 2006 ISSN: 0216-8219
48
seledet capung bukan seledet dilanjutkan
dengan seledet. Ada gerakan tambahan
yakni seledet capung. Gerakan menuju
Ngopak Lantang, pada gerakan barong
sakral setelah mesiksikan/santai membersihkan
bulu, dilanjutkan dengan
Nyongkok/jongkok lalu ngopak lantang/
langkah panjang dengan gerakan kepala,
badan ke kiri dan ke kanan. Sedangkan
pada barong profan setelah Mesiksikan
dilanjutkan dengan mekecos
dan tidak disertai dengan jongkok. Hal
ini berarti hilangnya gerakan Nyongkok/
jongkok.
Desakralisasi pada gerakan penyuwud/
terakhir terdapat pada pose gerakan
tidur/turu. Pada barong sakral setelah
sogok kanan dilanjutkan dengan
gelatik nuut pahpah, tetapi pada barong
profan tidak ada sogok kanan. Namun
dilanjutkan dengan ngipek kanan. Kemudian
barulan diteruskan dengan
ngandang-ngandang dan masuk ke dalam
pura. Sedangkan dalam tari Barong
profan diawali dengan sogok kiri, gelatik
nuut pahpah/kaki bergeser cepat ke
samping kiri/kanan lalu dilanjutkan
dengan ngandang arep bawak/ke depan
dua langkah kemudian tidur/turu. Desakralisasi
di sini dapat dilihat dari gerakan
turu, ngandang-ngandang bawah
dan ngipek yang merupakan tambahan
dari gerakan barong profan ketika
pementasan. Gerakan turu ini adalah gerakan
yang sangat indah bila disajikan
untuk menarik wisatawan, tetapi bila
dikaitkan dengan norma, apabila menarikan
barong sakral tidaklah etis jika
kaki dipakai mengusap-usap topeng
barong yang disakralkan. Hal itu akan
menyebabkan hilangnya kemagisan barong
itu sendiri.
Tempat pementasan juga telah
mengalami perubahan. Tari barong
sakral secara tradisi dipentaskan di
sebuah pura/di pura bagian luar dan
berkaitan dengan upacara agama Hindu.
Sedangkan pementasan barong
profan bertempat di depan pura pererpan
dan stage-stage perorangan serta
tidak ada kaitannya dengan upacara keagamaan.
Jadi tempat pementasan barong
sakral berada di tempat suci sedangkan
pementasan barong profan
tidak di tempat suci.
“Ceritra” tari barong juga mengalami
perubahan. Tari barong sakral
yang asli adalah calonarang, sedangkan
cerita dalam tari barong profan adalah
kuntisraya. Jadi perubahan ini disebabkan
cerita calonarang sangat bernuansa
magis mistis, sedangkan kuntisraya
mengutamakan estetika.
Penokohan sudah tentu mengalami
perubahan yaitu disesuaikan dengan
cerita yang dipergunakan. Di dalam calonarang
tokoh utamanya adalah Ratna
Manggali, Rangdeng Dirah/Calonarang,
Empu Bha-radah, Maling Maguna dan
Prabu Air Langga. Sedangkan dalam cerita
Kuntisraya tokoh utamanya adalah
Dewi Kunti, Sahadesa, Kalika, dan Durga.
Jadi bila diperhatikan perubahan
yang terjadi yaitu Empu Bharadah dalam
barong sakral berubah menjadi Sahadewa
pada Barong profan. Rangdeng
Dirah pada Barong sakral berubah menjadi
Dewi Durga dalam barong profan.
Rarung pada barong sakral berubah
menjadi Kalika pada barong profan.
Di dalam struktur pementasan
juga mengalami desakralisasi yaitu pada
babak terakhir. Pada babak ini dalam
tari barong sakral terdapat adegan
penari keris dan barong profan, disertai
Desakralisasi Tari Barong dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
49
dengan Pemangku memercikan air suci
sehingga penari keris Ngunying kesurupan.
Adegan ini diikuti oleh pementasan
barong profan yakni pemangku
memercikan air suci kepada penari
keris/Ngunying juga pada barong sakral.
Pemercikan air suci dan penusukan
keris pada tubuh penari yang dilakukan
tidak tepat pada waktunya serta berdasarkan
tradisi religius menyebabkan
manipulasi ini sebagai salah satu adegan
yang rasionalitas dan penuh kepura-
puraan.
Para pengambil keputusan dalam
pementasan barong sakral juga mengalami
desakralisasi. Perubahan ini secara
historis yaitu semula pementasan
diputuskan oleh raja ketika jaman kerajaan,
kemudian pada jaman kolonial
oleh pemerintah kolonial dan raja sebagai
alat kolonial. Setelah jaman kemerdekaan
diputuskan oleh Desa adat
dan Pemaksan barong. Ketika industri
pariwisata semakin berkembang keputusan
hanya terletak di tangan Desa
adat dan Pemaksan Barong sakral. Tetapi
bagi barong profan yang sekaanya
masih tradisional diputuskan oleh Pemaksan
dan sekaa barong, sedangkan
dalam sekaa perorangan/stage perorangan
keputusan terletak di tangan
pemilik saham. Secara sosiologis setiap
pergeseran kekuasaan pengambilan
keputusan dalam pementasan tari barong
menjadi otoritas penguasa pada
saat itu.
Dominasi wangsa dalam pementasan
tari barong sakral masih didominasi
oleh kalangan Wangsa Brahmana
yang sudah menjadi pendeta untuk
upacara melaspas, pasupati dan ngatep
serta ngelukar, sedangkan pada barong
profan hanya dilakukan oleh Pemangku
yang kewenangannya lebih rendah dibandingkan
Pendeta/Sulinggih. Demikian
juga bila dilihat dalam stage-stage
yang ada di Batu Bulan, dari empat stage
yang ada pimpinan stage masih di
dominasi oleh kaum kesatria yakni tiga
stage dipimpin oleh wangsa satria sedangkan
hanya satu stage dipimpin oleh
wangsa jaba. Berarti pementasan barong
sakral didominasi oleh kaum Brahmana
dalam upacara, sedangkan kepemimpinan
dalam barong profan didominasi
oleh kaum ksatria.
Suasana magis yang terdapat
dalam pementasan tari barong sakral
sangat kelihatan dari peralatan, sarana
dan prasarana yang dipergunakan
dalam pementasan. Atribut serta simbol
sakral , baik yang terdapat pada topeng
barong dan Rangda yang disertai penari
Nguying yang betul-betul mengalami
kesurupan dan pemercikan air suci oleh
pemangku dengan air suci pelaksanaan
odalan di suatu pura. Sedangkan suasana
magis yang terdapat dalam barong
profan/wisatawan penuh dengan manipulasi
kemagisan dengan unsur kepura-
puraan belaka sehingga kelihatan
hambar. Kehambaran ini semakin lama
mempengaruhi eksistensi kesakralan
barong sakral, yang oleh masyarakat
pementasan tari barong sakral sama
dengan Barong wisatawan. Istilah lain
barong sudah merupakan tari komoditi
turis.
Di dalam struktur organisasi juga
terjadi desakralisasi yaitu semula di
wadahi oleh Desa Adat, banjat adat, dan
pemaksan barong, maka yang berwenang
penuh adalah Bendesa Adat, Kalian
Banjar, dan Kelian Pemaksan untuk
menetapkan keputusan paratem/
rapat. Sedangkan dalam barong profan
AKADEMIKA, Jurnal Kebudayaan
Vol. 4, No. 1, April 2006 ISSN: 0216-8219
50
yang diwadahi oleh Pemaksan barong
dan Sekaa barong dalam Sekaa tradisional
keputusannya terletak dalam wewenang
kelian pemaksan dan kelian
sekaa barong, sedangkan dalam wadah
sekaa pribadi atau stage perorangan
keputusan terletak pada kelian sekaa
dan pimpinan stage secara otonom.
3. Bias Desakralisasi Tari Barong
dalam Kehidupan Sosial: Tumbuhnya
Organisasi Baru, Perubahan
Tradisi “Suka-Duka”, dan
Peralihan Mata Pencaharian
Tumbuhnya organisasi baru sebagai
bias dari desakralisasi tari barong
antara lain: adanya sekaa-sekaa barong
dance, baik yang tradisional maupun
yang perorangan. Di samping itu adanya
sekaa-sekaa arisan dan sekaa nampah,
sekaa dagang, seperti dagang tegak
(menetap) dan pejalan dan dagang acung.
Perubahan tradisi suka duka dapat
dilihat ketika anggota sekaa barong
dance akan melaksanakan gotong royong
di masyarakat adat Baru Bulan
yang secara tradisi dilakukan mulai tiga
hari pagi siang dan malam ketika akan
ada upacara keagamaan baik perkawinan
dan kematian, pada masa sekarang
dilaksanakan hanya setelah pementasan
barong dan sebelum pementasan,
artinya, waktunya telah berubah
dan mengutamakan bagaimana agar
gotong royong dilakukan sesingkat
mungkin, tetapi pekerjaan warga sudah
selesai.
Peralihan mata pencaharian juga
disebabkan oleh desakralisasi tari barong,
masyarakat Batu Bulan kebanyakan
memfokuskan kepada usaha sebagai
kelompok pematung dan tari barong,
sebab kehidupan pertanian sudah
tidak memungkinkan lagi.
Perubahan juga terjadi pada tradisi
pesangkepan/rapat. Secara tradisi
sebelum ada barong dance warga Pemaksan
barong mengadakan pesangkepan
setiap hari Rabu Wage/Budha
wage tetapi sekarang menggunakan
tanggal masehi yakni setiap tanggal 15
pertengahan bulan.
Terjadinya interaksi antarlembaga
dan pribadi dalam pementasan
tari barong. Antarlembaga interaksinya
dapat dilihat ketika akan ada pementasan
barong sakral, maka desa adat
meminta kepada sekaa barong dance
untuk melaksanakan pementasan barong
sakral, Pemakian stage secara bergantian
antara stageBarong Dejalan
Batur dengan stage Banjar Tegal Tamu.
Interaksi antarpribadi dapat diperhatikan
ketika para penari sedang
mempersiapkan pementasan, petugas
dekorasi, tukang gamelan, tukang payas.
Di samping berdialog untuk mempertimbangkan
masalah keluarga, pribadi,
dan sosial juga berdialog tentang
segala yang berkaitan dengan pementasan
tari barong profan ini.
4. Bias Desakralisasi Tari Barong
dalam Kehidupan Budaya
Dalam kehidupan budaya dapat
dilihat pada kehidupan politik, kesakralan/
eksistesi kesakralan, pelestarian
tari barong dan simbolisasi. Kehidupan
politik di Bali menyebabkan tari
barong dikendalikan oleh tiga betuk
pemerintahan semasa tiga periode. Pemerintahan
kerajaan untuk kepentingan
religius dan kerajaan. Pemerintah
kolonial Belanda untuk kepentingan
menyambut tamu penjajah, dan pemeDesakralisasi
Tari Barong dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
51
rintahan republik untuk religius, politik,
dan sajian wisatawan.
Eksistensi kesakralan juga semakin
melemah sebab dipentaskan setiap
hari dengan memanipulasi simbol,
atribut, sarana, dan prasarana pementasan
barong sakral. Demikian juga
semakin banyaknya jumlah stage-stage
sehingga tari barong dianggap sebagai
tari turis dan bukan tari sakral oleh sebagian
masyarakat Bali, eksistensi kesakralannya
ditambah lagi semakin merasionalnya
pemikiran kelompok-kelompok
masyarakat.
Bias desakralisasi juga memberikan
dampak pelestarian pada tari barong
tersebut. Hal ini dapat dilihat dari
semakin tumbuhnya wadah pementasan
tari barong, semakin seringnya
masyarakat mengadakan latihan tari
dan musik/gong sehingga regenersi
penari barong semakin lama semakin
banyak.
5. Simbol-simbol tari Barong yang
Mengalami Desakralisasi
Dapat dilihat dari; profanisasi
warna, atribut barong, dan atribut pementasan,
serta pemberian gelas.
Profanisasi warna yaitu jika barong
sakral mengutamakan warna merah
dan kuning sebagai simbol keperkasaan
dan keagungan, sedangkan pada
barong profan mengutamakan warna
kuning sebagai lambang kemakmuran.
Atribut barong serta atribut pementasan
juga mengalami desakralisasi.
Misalnya dalam pemasangan hiasan
pada tubuh barong lebih mengutamakan
dari segi estetis dan tidak mengutamakan
estetis religius sesuai dengan
makna filosofi masyarakat Bali.
Demikian juga terjadi pada pemasangan
atribut pementasan sekaa mengutamakan
estetis yang terpenting bagaimana
indah dilihat oleh wisatawan
walau pun tidak tepat dengan filosofi
masyarakat Bali. Apabila diperhatikan
juga banyak simbol barong sakral yang
sudah tidak ditemukan dalam pementasan
barong wisatawan, seperti tingga
diganti dengan gedong/tempat penyimpanan
benda/barong sakral, sanggah
crukcuk, tumbak, dan sebagainya.
Di samping memudarnya simbol
tari barong juga terjadi pengkaburan
gelar yang diberikan oleh masyarakat
Bali. Jika pada barong sakral diberikan
dengan gelar, Ratu sakti dan sebagainya,
sedangkan pada barong profan
menjadi tanpa gelar karena tidak ada
kaitannya dengan upacara keagamaan/
sifatnya profan.
6. Munculnya Desakralisasi Tari
Barong Sebuah Realitas dalam
Masyarakat Bali
Secara struktur sosial budaya masyarakat
Bali, tari barong merupakan
bagian dari salah satu wujud kekayaan
budaya. Budaya yang timbul dari unsur
seni. Dalam hubungannya dengan masyarakat,
seni dapat dipakai sebagai media
untuk mengomunikasikan maksud
tertentu oleh individu atau masyarakat
yang berkepentingan. Demikian halnya
dengan tari barong itu sendiri.
Tari barong dalam perkembangannya
tidak lepas dari pengaruh struktur
masyarakat Bali, baik secara politik,
ekonomi, dan sebagainya. Pada jaman
kerjaaan tari barong digunakan oleh raja
untuk menyampaikan ide-ide kekuasaannya
kepada masyarakat Bali. Hal
ini terjadi ketika kerajaan Kelungkung
mencapai puncak kejayaannya yakni
AKADEMIKA, Jurnal Kebudayaan
Vol. 4, No. 1, April 2006 ISSN: 0216-8219
52
abad ke XVII. Pada saat itu struktur kerajaaan
Gelgel/Kelungkung merupakan
struktur kesatuan yang terdesentralisasi
(Sideman, 1983:6). Setelah jatuhnya
kerajaan Gelgel tanggal 27 April
1908, maka Bali dikuasai oleh Belanda.
Berkuasanya Belanda di Bali, tari barong
dipergunakan sebagai media untuk
memperkuat penanaman ide-ide
kekuasaannya yaitu mempergunakan
tari barong sebagai tari pertunjukan kepada
tamu-tamu penting kerajaan Belanda
(Wiryasuta, 1939:175-177). Ketika
jaman kemerdekaan, tari barong bahkan
semakin berkembang penggunaannya,
baik sebagai sarana propaganda
politik sekitar tahun 1965 dan dipertunjukkan
untuk sajian kepada wisatawan
mancanegara.
Sesuai dengan fungsinya sesungguhnya
tari barong adalah tari sakral
yang hanya boleh dipentaskan ketika
pelaksanaan upacara di sebuah pura.
Namun, jika kekuasaan berbicara, maka
masyarakat pendukung tari barong
tersebut akan tunduk pada penguasa.
Sebagai akibatnya fungsi tari Barong
yang sesungguhnya magis religius
beralih fungsi menjadi profan. Lebih
menarik lagi, ketika pergeseran fungsi
tersebut banyak dikehendaki oleh masyarakat
pendukungnya dan bukan
atas kemauan penguasa yang kemudian
dipergunakan untuk menarik devisa
dari wisatawan. Pengabaikan fungsi tari
barong pada taraf tersebut sudah berarti
masyarakat bukan saja memanfaatkan
tari barong hanya untuk kepentingan
spiritual belaka tetapi juga dimanfaatkan
untuk kepentingan ekonomi.
Sejalan dengan berkembangnya
Bali sebagai pulau wisata, maka bermunculanlah
kelompok tari barong, baik
yang bernaung di bawah desa adat
atau benjar dan pribadi untuk mementaskan
tari sakral sebagai hiburan kepada
wisatawan. Melihat perilaku masyarakat
Bali yang demikian, maka
pemerintah Bali mengadakan seminar
seni sakral dan profan di bidang tari
tahun 1971 di Denpasar. Seminar tersebut
diikuti oleh lima kelompok masyarakat,
yakni kelompok agamawan,
adat, seniman, pemerintah, dan pariwisata
(Widja, 1983:11).
Pertentangan pendapat sakral dan
profan dalam masyarakat Bali, yang
dilanjutkan dengan pelaksanaan seminar
tersebut membawa akibat terbitnya
keputusan Gubernur Bali No. 2
Tahn 1973. Isinya adalah pelarangan
pementasan tari sakral untuk para
wisatawan. Larangan pemerintah Bali
tidak membuat berhentinya para kelompok
seniman dan pengelola wisata
melaksanakan pementasan tari. Mereka
kemudaian membuat tari duplikat
yang hampir sama dengan tari sakral.
Tari duplikat inilah yang disajikan untuk
para wisatawan.
Pementasan tari kamuflase ini
membawa akibat semakin samarnya
perbedaan antara tari yang sakral dan
tidak sakral/profan. Kemudian meningkatnya
persaingan penjualan tari
duplikat/profan kepada wisatawan. Hal
ini juga terjadi pada tari barong. Persaingan
antarkelompok dan organisasi
tari barong untuk merebut pasaran, menyebabkan
masyarakat Bali berusaha
untuk menampilkan tari Barong sesakral
mungkin beserta dengan simbolsimbol,
serimonial, dan sebagainya yang
dibuat nuansa penuh kesakralan. Di
samping masyarakat mementaskan BaDesakralisasi
Tari Barong dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
53
rong profan mereka juga mementaskan
tari barong yang sakral untuk hiburan
wisatawan pada stage-stage tertentu
yang berlangsung sampai sekarang.
Pementasan barong sakral dan
barong profan untuk kepentingan pasar
menyebabkan terjadinya pergeseran
simbolis tari barong itu sendiri. Artinya,
tari barong yang semula sebagai salah
satu simbol sakral, kemudian menjadi
simbol profan yang identik dengan barang
dagangan. Bila dilihat dari pendekatan
Bourdieu dalam “Toward a Sociology
of Postmodern Culture” bahwa
masyarakat Bali yang tergabung dalam
kelompok pementasan barong profan di
desa Batu Bulan telah melakukan penjualan
tari Barong yang diidentikkan
barang simbolis; kondisi pemasaran dan
permintaan tari Barong melalui promosi,
berbagai proses persaingan dan monopolisasi,
serta berbagai pertarungan
dengan kelompok tari barong yang sudah
mapan dan baru berdiri. Misalnya
dilihat dari tindakan penamaan (naming),
sebagai salah satu strategi yang
penting dari berbagai kelompok seniman
tari Barong yang terlibat dalam
pertarungan dengan kelompok lain/
antarstage dengan nama yang tertera,
penggunaan segala atribut dan istilah
baru yang berkepentingan mendistabilisasi
berbagai hirarki kepentingan simbolis
yang ada untuk menghasilkan suatu
klasifikasi ulang di bidang bersangkutan
sejalan dengan kepentingan mereka
(Prisma, 1993:12).
Penjualan tari barong profan merupakan
kondisi masyarakat yang
tanpa disadari dapat menghancurkan
pembatas antara tari barong sakral dengan
tari barong profan dalam wilayah
seni. Yang digerakkan oleh kondisi perubahan
sosial budaya sehingga otoritas
kesakralan yang sebelumnya dipertahankan
kemudian diubah disesuaikan
dengan tempat, situasi, dan kondisi
(Desa Kala dan Patra).
Bila diperhatikan lebih jauh tentang
perangkat dan sirkulasi pementasan
tari barong profan, hal ini dapat
dikatakan bahwa para seniman, kelompok
masyarakat yang tergabung dalam
organisasi tari barong sebagai para
spesialis dalam memproduksi serta
menjual simbol kesakralan tari barong
dalam hubungannya dengan konsumen
atau orang-orang yang telibat dalam
kepariwisataan. Istilah Bordieu disebut
dengan “perantara budaya baru” (Prisma,
1993:13). Artinya, di dalam situasi
yang global di mana arus sirkulasi dan
informasi yang serba cepat membantu
melancarkan jalannya perubahan dalam
budaya tari barong sakral yang semula
tertutup, kemudian muncul berbagai saluran
komunikasi baru, kebutuhan baru,
peluang baru, dalam kondisi persaingan
yang semakin meningkat sehingga
desakralisasi tari barong tidak terelakkan
lagi. Di sinilah terlihat jelas antara
seniman yang tergabung dalam pementasan
tari barong profan sebagai penjual
simbol, dengan pelaku ekonomi pariwisata
sebagai konsumen simbol saling
ketergantungan satu dengan lainnya,
yaitu produsen simbolis dan konsumen
simbolis. Maksudnya, seniman sebagai
produsen dan penjual simbol tari barong
sedangkan pelaku pariwisata sebagai
pembeli simbol tersebut.
Desakralisasi tari barong dalam
berbagai simbol dan unsur-unsurnya
seperti upacara, pemimpin upacara, pemegang
keputusan, pementasan tari
barong, pergeseran organisasi tari baAKADEMIKA,
Jurnal Kebudayaan
Vol. 4, No. 1, April 2006 ISSN: 0216-8219
54
rong, dan sebagainya. Dilihat dari kacamata
posmodernisme inilah yang dimaksud
oleh Lyntard sebagai ketidakpercayaan
pada kebenaran tunggal. Dalam
era posmodernisme legitimasi menjadi
majemuk dan lokal (bukan universal)
tidak terdapat dan dibutuhkan
keadilan serta kebenaran tunggal. Apa
yang dibutuhkan adalah keadilan dan
kebenaran majemuk (Lyntard, 1979:33-
34). Pementasan tari barong untuk wisatawan
merupakan sebuah terobosan
dan cermin telah memudarnya legimitasi
agama dan adat, serta penguasa
terhadapnya. Kelompok pementasan
mempunyai pandangan, bahwa pementasan
tari Barong profan tersebut juga
merupakan suatu kebenaran dari kebenaran
religius lainnya. Sebab dalam
membuat pementasan barong profan
masyarakat Bali seolah-olah sudah
mendapatkan kebenaran dari tradisi,
norma, adat, dan budaya masyarakat
Bali.
Pementasan barong profan juga
sebagai wujud dinamisme, artinya para
seniman dan kelompok pementasan
tari barong telah melakukan usaha
untuk pembaharuan, eksperimentasi
tari sehingga dapat mewujudkan sebuah
tari barong profan dengan memberikan
ciri perbedaan fungsi tari barong
sakral. Secara halus sesungguhnya
seniman tari barong profan menolak
pemikiran yang terlalu totaliter religius,
tetapi mengkombinasikan antara
tari barong sakral dengan tari barong
profan melalui proses simbolis. Inilah
yang merupakan kepekaan masyarakat
Bali untuk melihat perbedaan yang ada
dalam konteks aktivitas budaya sebagai
pendukung religius.
Sebagaimana teori posmodernisme
yang memandang relativisme plural
sebagai salah satu dasar untuk mengkaji
kebenaran realitas kehidupan masyarakat
dengan melihat kebenaran teori
lain yang masih relevan, maka tari Barong
profan dalam masyarakat Bali merupakan
wujud relativisme dari sistem
dan struktur budaya yang dimiliki oleh
masyarakat Bali.
Simpulan
Penelitian ini bermaksud mengungkapkan
dan menganalisis desakralisasi
tari barong dalam kehidupan
sosial budaya masyarakat Bali.
Desakralisasi adalah gerakangerakan
norma-norma tradisional menuju
norma-norma modern seirama dengan
berkembangnya peristiwa-peristiwa
sejarah dan berjalan sesuai dengan
perubahan masyarakat serta mengambil
berbagai bentuk.
Tari barong semula merupakan
tari sakral yang dipentaskan hanya
untuk kepentingan upacara agama
Hindu di Bali, tetapi dalam perkembangannya
tari ini juga dipentaskan
untuk hiburan wisatawan.
Muncul unsur-unsur, simbol-simbol,
dan bias desakralisasi tari barong
dalam kehidupan sosial budaya masyarakat
Bali.
Desakralisasi Tari Barong dalam Kehidupan
Sosial Budaya Masyarakat Bali (41 - 55) I Guti Ngurah Sudiana
55
Daftar Pustaka
Maleong, Lexy J. 1991. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosda Karya.
Prisma. 1993. No. 1 Tahun XXII LP3S
Widia, I Gede. 1982. “Kasta dalam Hindu Kesalahpahaman Berabad-abad”. Jakarta:
Yayasan Mamik Geni.
Wirjasutha, Nyoman. 1939. “Verslog dari Lezing tentang: Penyakitnya Perkoempoelan
di Bali”dalam Djataanjoe. No.6. 25 Djanuari, III. Soerabaia : Modern Canalaan
0 komentar:
Posting Komentar