AJINING DIRI ANA ING LATI
Lebaran
tahun ini memang sudah kita lewati bersama. Para pemudik dari tanah
rantaupun satu per satu sudah meninggalkan kampung halamannya
masing-masing untuk kembali merantau. Ada banyak suka dan bahagia yang
telah dinikmati bersama keluarga, sanak famili dan handai taulan selama
berhari raya. Kesempatan berkumpul ini seakan mengukuhkan kembali
filosofi mangan ora mangan sing penting kumpul, makan tidak
makan yang penting bisa berkumpul. Tentu saja konteksnya adalah
sesederhana apapun pakaian, makanan dan segala perlengkapan hari raya
kita, namun kebersamaan dalam semangat persaudaraan lebih dari
segala-galanya. Silaturahmi telah merekatkan kembali hati yang sempat
terpisahkan oleh jarak ruang dan waktu. Berkumpul dengan keluarga adalah
satu anugerah kenikmatan hidup yang tiada tertandingi dengan materi
apapun.
Menjalani
hari-hari menjelang lebaran, ada satu penggal kisah yang menjadi
keprihatinan saya. Alkisah, adalah seorang anak kecil sebut saja namanya
Nora. Ia dilahirkan di ibukota sebagai generasi urban. Kedua orang
tuanya meskipun asli putra daerah tetapi sudah belasan tahun hidup di
ibukota Jakarta.
Pada suatu
senja, Nora bermain sepeda di sekitar pekarangan tetangga tepat di
depan rumah tinggal kakek-neneknya. Dengan penuh keberanian, ia menyapa
tetangga di seberang, seraya bertanya, “Ini rumah siapa Tante?”
Sang tetangga menjawab dengan penuh keramahan, “Rumahnya Pak Wiro.”
Nora bertanya lagi, “Pak Wiro itu kerjanya dimana?”
“Pak Wiro kerjanya ya di rumah saja”, jawab sang tetangga lurus-lurus saja.
“Lha Pak Wiro itu kantornya dimana Tante?” Nora nampak penasaran.
“Ya tidak punya kantor, lha wong sudah lama pensiun”, si Tante menanggapi.
Nora melotot, “ Haaa, tidak punya kantor! Kalau tidak punya kantor pasti tidak punya mobil ya Tante!
Si Tante hanya melotot keheranan sambil geleng-geleng kepala seakan menjadi tidak paham dengan apa yang baru saja dijawabnya.
Pada saat
saya mendengar kisah inipun, serasa ada sesuatu yang menyesakkan dada.
Anak metropolitan semacam Nora memang luar biasa, dalam artian
keberanian dan kepercayaan diri untuk berkomunikasi dengan orang yang
notabene lebih tua usianya. Bisa jadi menurut ukuran manusia meodern,
Nora adalah bocah cerdas karena ia kritis mengajukan pertanyaan menurut
logika berpikir yang “lurus”. Tetapi apakah kebenaran logika harus
bertentangan dengan nilai etika, dan estetika dalam berbicara?
Dari penggalan dialog pembicaraan tadi, ada sesuatu yang kurang trep,
tidak pas menurut kaca mata adat dan sopan santun, terlebih menurut
adat masyarakat Jawa. Bagaimana mungkin seorang bocah memiliki logika
berpikir bahwa kalau tidak punya kantor pasti tidak punya mobil, dan
terkesan bahwa hal itu merendahkan pihak lain! Pola pikir dan didikan
model apakah yang telah diserapnya dari kedua orang tuanya, dari sekolah
maupun lingkungan tempat ia dibesarkan.
Logika
menyangkut benar atau salahnya sesuatu, etika terkait dengan baik atau
buruk, sedangkan estetika berhubungan dengan indah atau jeleknya
sesuatu. Ungkapan bahwa kalau tidak punya kantor pasti tidak punya
mobil, bisa jadi benar secara logika. Akan tetapi dari segi baik-buruk,
serta indah-jeleknya sebuah ungkapan sudah pasti tidak bisa diterima.
Ungkapan itu mengandung kesan perendahan, dan ketidaksopanan seseorang.
Di sinilah terdapat kesenjangan antara kebenaran logika, etika, dan
estetika!
Nora
memang masih seorang bocah yang sudah pasti masih sangat lugu tentang
ungkapannya, terlebih tentang seluk beluk kehidupan. Nora barangkali
tidak paham tentang batasan tata krama dalam pergaulan. Akan tetapi
inikah gambaran generasi bocah kita? Atau ini gambaran generasi urban
yang dididik oleh dunia sinetron yang sembrono di negeri ini, tanpa
arahan dan bimbingan orang tua? Bila memang demikian, maka kita secara
kolektif harus memikirkan bersama langkah untuk kembali menanamkan budi
pekerti yang mulia kepada generasi penerus kita.
Dari tinjauan kebahasaan saja, para leluhur kita telah mengajarkan bahwa ajining diri gumantung ana ing lati.
Artinya bahwa tinggi rendahnya martabat seseorang dapat diukur dari
kesopanan tutur kata dan bahasa yang dipergunakan. Hal inilah yang
kemudian menjadi dasar digariskannya tata krama dan unggah-ungguh,
atau sopan santun dalam berbicara. Prinsip utama dalam berkomunikasi
secara lisan bahwa yang muda harus lebih menghormati lawan bicara yang
lebih tua, dan sebaliknya yang lebih tua atau dituakan juga harus bisa ngemong
dan menyayangi lawan bicara yang lebih muda. Memang konteks penggunaan
bahasa, sebagaimana bahasa Jawa dalam tataran tingkatan bahasa krama (sangat halus), madya (tengahan), ataupun ngoko
(biasa) barangkali sudah semakin langka dipahami oleh generasi muda.
Namun hal inipun tentu saja bukan sebagai sebuah pembenaran akan
dilanggarnya prinsip komunikasi lisan bahwa yang muda harus lebih hormat
kepada yang tua. Hal ini merupakan tanggung jawab bersama generasi yang
lebih tua terhadap generasi penerusnya.
Dalam
kasus kisah Nora di atas, meskipun si bocah ini dilahirkan di lingkungan
urban yang sudah sangat longgar memegang tradisi, apalagi dalam hal
bahasa, namun semestinya nilai luhur dan budi pekerti mulia untuk
mengerti dan memahami batasan wajar atau tidaknya sesuatu diungkapkan
tetap ditanamkan oleh orang tua, dan juga para guru di lingkungan
pendidikan formal maupun non formal. Gambaran kisah ini bisa jadi
merupakan sebuah cermin betapa masalah tata krama dan budi pekerti
menjadi sangat dikesampingkan oleh manusia modern. Dan ini wajib menjadi
keprihatinan kita bersama, serta memerlukan perhatian untuk mencari
jalan keluar dan memperbaiki keadaan.
Di sisi
lain, lagi-lagi kita mendapatkan gambaran bahwa manusia modern lebih
mengutamakan pencapaian kepada hal-hal yang bersifat materialistik untuk
mengukur kesuksesan dan keberhasilan hidup. Dengan demikian pangkat,
jabatan, uang, motor, mobil, rumah dan materi yang lain adalah indikator
yang harus diperlihatkan secara kasat mata. Tidak cukup hanya dengan
kondisi yang sederhana, namun sebisa mungkin semua harus dalam keadaan
mewah karena yang serba mewah itu akan mengundang decak kagum dan
gumaman wah dari orang lain. Celakanya sikap seperti ini sangat mudah menular kepada generasi muda, terlebih yang masih bocah sekalipun.
Manusia
masa kini cenderung mengejar dunia dari segi fisik semata. Ukuran
kepemilikan sesuatu tidak lagi diukur dari skala dan prioritas pemenuhan
kebutuhan hidup. Semua dikejar sebagai ungkapan pemuasan nafsu, nafsu
ingin dipuji, disanjung, disembah, dikagumi, dihormati, dikatakan kaya,
dikatakan pintar, dikatakan sukses dan lain sebagainya. Dan bila nafsu
sudah menjadi raja maha diraja, dianggap sebagai tujuan hidup bahkan
menjadi tuhan, maka manusia serakah akan menghalalkan segala macam cara,
daya dan upaya untuk mencapai keinginannya. Yang haram bisa dihalalkan,
yang halal bisa diharamkan, sehingga rusaklah tatanan dan norma
kehidupan. Inilah tanda-tanda memudarnya moralitas hidup, dan segera
akan diikuti keruntuhan peradaban manusia.
Manusia sudah tidak lagi menghiraukan hakikat tujuan hidup bahwa kamulyaning urip dumunung ana ing katentremaning ati,
kemuliaan hidup terletak di dalam ketentraman hati. Hati nurani adalah
pancaran nilai ruhiah ketuhanan. Semakin jauh manusia meninggalkan suara
hati nurani dalam setiap aspek kehidupan, maka manusia akan semakin
jauh dari rasa ketentraman, rasa kebahagiaan sejati, terlebih lagi jauh
dari Tuhan. Dengan demikian manusia akan selalu merasa dikejar-kejar
bayangan semu nafsunya sendiri. Apakah dengan demikian manusia akan
dapat mencapai rasa bahagia? Sudah pasti jawabnya tidak! Bahkan manusia
akan terperosok ke dalam lembah kehinaan karena telah menuhankan nafsu.
Manusia menjadi sehina-hinanya makhluk Tuhan yang melebihi kehinaan
binatang! Jaman memang semakin edan! Namun sudah tidak tersisakah
sedikit nurani manusia untuk tetap memegang martabat hidupnya sebagai
manusia?
Gambaran
kisah Nora mudah-mudahan hanyalah setitik noktah korban kehidupan kaum
urban di lingkungan metropolitan. Harapan kita semua bahwa masih akan
selalu muncul noktah-noktah putih bagi perjalanan hidup yang lebih baik,
lebih mulia dan beradab bagi anak cucu dan generasi penerus bangsa ini.
Masih akan selalu terbentang jalan untuk memperbaiki keadaan.
0 komentar:
Posting Komentar