SPIRIT ANAK MERAPI
SPIRIT TAKKAN PERNAH MATI
Tahun
ajaran baru telah dimulai. Anak-anak bangsapun kembali ke bangku
sekolah. Meski ada yang tidak lagi dapat meneruskan cita-cita
pendidikannya karena keterbatasan biaya, semoga jumlahnya tidak kian
bertambah. Dan lihatlah anak-anak sekolah itu! Sorot matanya, langkah
kakinya, ceria candanya! Betapa tekad, semangat dan harapan terpancar
dari aura nuraninya yang penuh kemurnian. Merekalah tunas muda harapan
bangsa.
Kalaupun
kita sudah sangat gerah dengan gosip dan gonjang-ganjing politik yang
tidak etik di negeri ini, kalaupun kita tidak lagi berpengharapan akan
kesejahteraan yang lebih baik, kalaupun kita sudah sangat berputus asa
tentang pemberantasan korupsi, tentang penegakan hukum, pendidikan yang
kian mahal, kemerosotan moralitas, dan segala macam tanda kiamat di
negeri ini, lihatlah kepada anak-anak kita! Hanya kepada merekalah
harapan terbitnya fajar kehidupan yang lebih baik di masa depan layak
kita sandangkan. Anak-anak adalah anak jaman.
Merapi memang telah usai dengan gawe kendurian-nya. Namun justru para bocah Merapi baru menapaki wayah gumregah-nya. Saat bangkit untuk menempa diri agar siap nglintir
estafet kehidupan dari para pendahulunya. Melalui hajatan Festival
Tlatah Bocah V, spirit itu digaungkan ke segenap Nusantara, bahkan dunia
semesta raya. Bertajuk Wayah Gumregah, harapan baru terbitnya fajar yang cerah coba diresapi dan dihayati hingga ke lubuk sanubari.
Tlatah
Bocah merupakan wadah bagi penyaluran bakat dan kreativitas para bocah
di selingkaran gunung Merapi. Acara yang rutin digelar saat liburan
kenaikan kelas ini kini sudah berlangsung untuk yang ke lima kalinya.
Adalah Komunitas Rumah Pelangi Muntilan yang menginisiasi dan
menggawangi agenda ini. Tahun ini Tlatah bocah telah didukung oleh lebih
dari 25 komunitas di selingkaran Merapi, bahkan Salatiga, Kulon Progo,
Jakarta. Yang lebih istimewa, tahun ini para bocah Merapi mulai nggandeng konco bule-nya dari Australia.
Wayah Gumregah diawali dengan laku Merti Jiwo
di Pusung Malang, satu situs sejengkal dari pucuk Merapi di jalur desa
Stabelan, Tlogolele, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali tepat tanggal
4-5 Juni 2011. Sebagaimana nama agenda Tlatah Bocah, memang festival ini
didedikasikan dari, oleh dan untuk para bocah. Merekalah subyek
sekaligus obyek, sementara para orang tua dan mas mbak mereka bertindak sebagai fasilitator dan pendorong.
Nafas
utama Tlatah Bocah adalah pentas seni dan kreativitas para bocah. Ada
wayang bocah, janthilan bocah, kobra siswo, ndayakan, ndolalak, ………
Akhir pekan adalah hari pentas. Setiap kelompok atau paguyuban kesenian
yang digawangi para bocah itu satu per satu mendapatkan giliran untuk
unjuk kebolehannya dalam wadah Laku Lampah, lakone lelakon,
alias jalannya perjalanan. Berkenaan dengan saudara-saudara yang masih
terkena dampak sekunder lahar dingin Merapi dan terpaksa masih tinggal
di hunian sementara, maka Laku Lampah sengaja digelar di lokasi
huntara, masing-masing Jumoyo Kabupaten Magelang, Cangkringan Kabupaten
Sleman, dan Ndeles Kabupaten Klaten. Laku Lampah dihelat pada tanggal 12, 19, dan 26 Juni 2011.
Puncak
dari segala pentas adalah diselenggarakannya Gelar Budaya di desa Sengi
Kecamatan Dukun pada 9 – 10 Juni 2011. Acara yang berlangsung ngedur dari Sabtu siang hingga Minggu malam itu secara penuh menampilkan 20 paguyuban seni bocah, diantaranya angguk rame, jaran debok, kobra siswo, topeng ireng, gelap ngampar, wayang bocah, musik etnik, teater rakyat, mahesa buteng, hingga cakar lele dan aman perkusi.
Selaian
wahana pengembangan kreativitas seni, Tlatah Bocah tahun ini juga
menjadi ajang mempererat tali kerabat diantara bocah se-Nusantara dengan
diselenggarakannya Bala Dhewe. Dalam selang waktu satu minggu, para bocah yang kebanyakan anak-anak kota dari luar daerah diperkenankan ngenger, ngangsu kawruh dan belajar tentang kehidupan karang pradesan. Mereka hidup bersatu bersama warga dusun, menikmati kesejukan hawa Merapi, belajar bersawah dan berkebun, belajar angon kebo, dan tentu saja bermain permainan tradisional ala bocah dusun.
Hajatan Tlatah Bocah V dipungkasi dengan Larung Sukerti,
sebuah laku pembersihan jiwa terhadap segala pamrih, segala dosa,
segala laku dan perilaku yang menyimpang, serta dari segala pikiran,
perkataan, maupun perbuatan yang tercela. Laku ini digelar di temaram
lembayung senja, tepat di mulut muara Kali Progo, di sisi pantai Trisik,
Kulon Progo.
Merapi
adalah pralambang kebesaran dan ketinggian. Kemahabesaran dan
kemahatinggian adalah semata-mata milik Tuhan Semesta Alam, maka adalah
bukan hak manusia untuk mengenakannya. Akan tetapi bercermin kepada
sebuah gunung, manusia diajarkan untuk memiliki ketinggian dan keluhuran
budi pekerti, tata krama, akhlakul karimah, serta moralitas. Di sisi
lain, laut merupakan pralambang keluasan dan kedalaman dunia. Di lautlah
segala muara air berlabuh. Laut seolah menjadi tujuan akhir setiap
perjalanan hidup. Kepada lautlah kita belajar tentang makna keluasaan
jiwa dan hati sebagai cermin kesabaran. Kepada laut pulalah kita
dibimbing untuk memahami makna kedalaman hakekat nilai kehidupan.
Antara
gunung dan laut adalah satu kesatuan garis kehidupan yang dihubungkan
alur sungai. Dan Kali Senowo, Kali Blongkeng, Kali Lamat, Kali Putih,
serta Kali Gendol dan Krasak dipadukan oleh Kali Progo untuk
menghantarkan setiap kesenyawaan gunung bersatu padu dengan kesenyawaan
laut. Trisik-lah titik manunggaling ketinggian dan kedalaman, sekaligus kebesaran dan keluasan hidup. Inilah simbol dan pemaknaan laku Larung Sukerti yang menjadi gerbang penutup Tlatah Bocah, 17 Juli 2011.
Tlatah
Bocah memang telah berakhir. Namun serangkaian hajat yang digelar
hendaknya menjadi momentum kebangkitan hidup yang terpatri di dalam dada
setiap bocah Merapi. Bocah adalah masa depan bangsa. Hanya di dada para
bocah harapan akan cerahnya masa depan bangsa dan negeri masih layak
kita tambatkan. Spirit bocah Merapi takkan pernah mati! Rawe-rawe rantas, malang-malang putung! Sura dira jayaningrat, lebur dening pangastuti! Selamat Hari Anak Indonesia! Semoga Tuhan menyertai bangsa ini.
0 komentar:
Posting Komentar